Rabu, 26 Januari 2011

TASAWUF FALSAFI
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (fisafat) hingga menuju tingkatan yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud).
Adapun yang dinaksud juga dengan tasawuf falsafi adalah tasawuf yang bersandarkan pada pemaduan antara intuisi para sufi dengan cara pandang rasional mereka, serta menggunakan tema-tema filsafat dari berbagai macam sumber untuk mengungkapkan tasawufnya itu. Bisa juga dikatakan bahwa tasawuf falsafi adalagh tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. Tasawuf sunni ata salafi metodenya lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan tasawuf falsafi metodenya menonjol kepada segi teoritis sehingga dalam konsep-konsep  tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan-pendekatan filosofis yang sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan  bisa dikatakan mustahil, namun tetapi bisa diaplikasikan  pada kenyataannya.
Sejarah munculnya Tasawuf Falsafi menurut At-Tafzani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khasanah Islam sejak abad keenam Hijiriyyah meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak saat itu tasawuf jenis ini hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yana juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini.
Masih menurut At-Tafzani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar akibatnya banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini






A.    IBNU ‘ARABI
Nama lengkapnya ialah Abu Bakar Muhammad bin Muhyiddin al-Hatimi al-Ta’I al-Andalusia. Di Andalusia (Barat) dia dikenal dengan nama Ibnu ‘Arabi, tanpa alif-lam (bukan ibnu al-‘Arabi). Disamping itu juga   disebut dengan al-Qutb, al-Gaus, al-Syaikh al-Akbar, atau al-Kibrit al-Ahmar.1 Dia lahir pada tanggal  17 Ramadhan 560 H./28 Juli 1163 M. di Mercia dan meninggal pada tanggal  28 Rabiul Akhir 638 H./16 Nopember 1240 M.
Ibnu ‘Arabi adalah penulis produktif, yang menurut Browne ada 500 judul karya tulis dan 90 judul di antaranya tulisan tangannya yang tersimpan di Perpustakaan Negara Mesir. Tetapi menurut Sya’roni, Ibnu ‘Arabi menulis buku sekitar  400 judul saja, termasuk Fusus dan Fusuhat. Adapun di dalam Concise Encylopaedia of Arabic Civilization disebutkan jumlah karya Ibnu ‘Arabi mencapai 300 buah, dan hanya 150 buah yang dijumpai. Di antara hasil karya tulisnya (buku-buku) yang terkenal dan fenomenal adalah al-Futuhat al-Makkiyah, Turjuman al-Asywaq, dan Fushus al-Hikam.2
Ibnu ‘Arabi diakui dan dikenal sebagai pendiri mahzab “kesatuan wujud” (wahdah al-wujud) yang merupakan rembesan dari hasil karya-karyanya yang tumbugh dikalangan ahli-ahli sufi dalam Islam.3 Ia sendiri tidak pernah sekalipun memperkenalkan ungkapan ‘alwahda al-wujud’ itu sebagai terminologi khusus dalam tulisan-tulisannya. Al-Farghani adalah pengikutnya yang pertama kali menggunakannya sebagai suatu istilah taknis. Istilah ini biasanya dikontraskan  dengan “pengetahuan-Nya yang Berbilang (Katsrah al-‘ilm)”. Dia juga termasuk salah seorang pemikir besar Islam. Beberapa pemikir Eropa, antara lain Dante, terpengaruh  oleh pemikirannya, sebagaiman dikemukakan Asin Palacios dalam salah satu kajiannya. Pikirannya juga berpengaruh pada sufi sesudahnya, baik di Timur maupun di Barat.4





1Lutfi ‘Abd Badi’, Islam fi Isbaniya, al-Nahdah al-Misriyah, Cairo, 1969, hlm, 61.
2Stephan dan Nady Ronart, Concise Encyclopaedia of Arabic Civilization the Arab East, Amsterdam, Netherlands, 1996, hlm. 49.
3Muhammad Gallab, Al-Ma’rifah ‘inda Mufakkiri Al-Musliman, al-Dar al-Misyirah, Cairo, 1966, hlm. 358.
4Al-Taftazani, op.cit.,hlm 200.
Ibnu ‘Arabi juga mengembangkan pemikiran tentang rohani manusia, menurutnya dalam diri manusia terdapat dimensi rohaniah yang terdiri dari unsure kebutuhan psikis, spiritual, imajinasi, dan alam khayal manusia.  Rohani dapat membawa manusia kepada alam antara sadar dan tidak sadar yang disebut dengan alam al-mitsal (dunia rasa cita murni) dimana manusia siapapun juga dapat menge na Allah melalui imajinasi kreatif yang terlatih. Kajian rohani ini meliputi dua cabang berurutan, yaitu:
Ø  Kajian tentang kaidah-kaidah yang akan mengantarkan pada perilaku terpuji dan bermuara pada kebahagiaan batin yang dalam (al-‘alam al-rasmi).
Ø  Kajian tentang olah-rasa yang mengantar jiwa pada cahaya keimanan dan pintu kemakrifatan (al-‘alam al-dzauqi).

Wahdah Al-wujud
Ibnu ‘Arabi di dalam kitabnya Al-Futuhat menuturkan bahwa Allah adalah “wujud mutlak”, yaitu zat yang mandiri, yang kebveradaan-Nya tidak disebabkan oleh sesuatu sebab apapun.5 Allah adalah pencipta alam semesta. Tentang proses penciptaan alam, dapat dilihat dalam tulisannya Fusus Al-Hukam. Menurut Ibnu ‘Arabi, ada lima tingaka tan tajalli atau tanazzul zat Tuhan, yaitu:
a.      Tajalli zat Tuhan dalam bentuk-bentuk al-a’yan al-sabitah, yang disebut dengan ‘Alam al-Ma’ani.
b.      Tanazzul zat tuhan dari ‘Alam al-Ma’ani kepada realitas-realitas rohaniah, yang disebut dengan ‘Alam al-Arwah.
c.       Tanazzul zat Tuhan dalam rupa realitas-realitas al-Nafsiyah yang disebut dengan ‘Alam al- Nufus al-natiqah.
d.      Tanazzul zat Tuhan dalam bentuk-bentuk jasad tanpa materi, yang disebut ‘Alam al-Misal.
e.       Tanazzul zat Tuhan dalam bentuk jasad bermateri, yang disebut pula dengan Alam al-Madiyah, dfan disebut pula ‘Alam al-Hissi atau ‘Alam al-Syahadah.






5Ibnu ‘Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyah, II, Nural al-Saqafal al-Islamiyah, Cairo, 1972, hlm. 223.
Lebih lanjut disebutkan bahwa tingkatan pertama sampai tingkatan keempat adalah maratabat ghaib (alam metafisik), sedangkan tingkatan yang terakhir atau kelima adalah alam fisik atau alam materi.
Dalam teori Ibnu ‘Arabi, terjadinya ala mini tidak bisa dipisahkan dengan ajarannya  tentang Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa Nur Muhammad adalah sesuatu yang pertama sekali wujud (menitis) dari Nur Ilahi.6 Dr.Ibrahim Hilal menceritakan bahwa Nur Muhammad merupakan tahapan pertama dari tahapan-tahapan tanazzul (emanasi) zat Tuhan dalam bentuk-bentuk wujud.7 Dengan demikian, Nur Muhammad ada sebelum terjadinya tahapan-tahapan tajalli atau tanazzul zat Tuhan seperti tersebut di atas.
Kecuali Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa Nur Muhammad adalah sesuatu yang pertama kali melimpah dari Tuhan, dia juga mengatakan bahwa darpadaNyalah  terbitnya alam ini.8 juga diriwayatkan, bahwa dari Haqiqah Muhammadiyah ini dijadikan surga dan neraka, nikmat dan azab. Tegasnya tidak ada mau jud  meliankan dari Haqiqah Muhammadiyah.9 apabila dikatakan orang Haqiqah Muhammadiyah, maka ia adalah asal segala yang ada.10
Melalui keteranagn di atas dapat sutau kesimpulan bahwa tahapan-tahapan kejadian dalam proses penciptaan alam menurut ajaran tasawuf Ibnu ‘Arabi adalah:
a.       Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Zat yang mandiri tanpa disebabkan/berhajad wujudNya kepada sesutau apapun.
b.      Wujud Al-Haqiqah Muhammadiyah sebagai emanasi pertama dari wujud Tuhan, dan daripadanya melimpah wujud-wujud lainnya.
c.       Bentuk-bentuk al-a’ayan al-sabitah (wujud-wujud yang ada pada ilmu Tuhan) yang disenut ‘Alam Al-Ma’ani.
d.      Realitas-realitas rohaniah (wujud-wujud rohani) yang disebut ‘Alam Arwah.
e.       Realitas-realitas al-nafsiyah (wujud-wujud jiwa) yang disebut ‘Alam Al-Nufus Al-Natiqah.



6Ibnu ‘Arabi, Al-Futuhat, II, op. cit., hlm 227.
7Ibrahim Hilal, Al-Taswwuf Al-Islami Baina Al-Din wa Al-Falsafah, Dar al-Nahdah al-‘Arabiyah, Cairo, hlm. 214.
8Ibid., hlm. 144.
9Ahmad Mahmud Subhi, Al-Faksafah Al-Akhlaqiyah fi Fikr Al-Islami, Dar al-Nahdah al-‘Arabiyah, Cairo, 1969, hlm. 214.
10Yusuf Musa, op. cit. hlm. 207.
f.       Wujud-wujud jasad tanpa materi yang disebut dengan ‘Alam al-Misal.
g.      Wujud-wujud jasad bermateri yang disebut dengan ‘Alam Al-Ajsam Al-Madiyah atau ‘Alam Al-syahadah.

Al-Insan Al-Kamil
 Al-Insan Al-Kamil adalah nam yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk menanamkan seorang muslim yang telah sampai ke tingkat tertinggi, yaitu−menurut sebagian sufi-tingkat seorang yang telah sampai pada fana’ fillah. Memang, terdapat perbedaan pendapat di kalangan kaum sufi dalam menentukan siapa yang bisa disebut al-insan al-kamil.
Masalah Al-Insan Al-Kamil, dalam pandangan Ibnu ‘Arabi, tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan paham adanya Nur Muhammad, seperti ditegaskan: “Ketahuilah, bukanlah yang dimaksudkan dengan Al-Insan Al-Kamil, kecuali Nur Muhammad, yaitu roh Ilahi yang Dia tiupkan kepada Adam. Oleh karena itu, Adam adalah esensi kehidupan dan awal manusia.”11 Dikatakan bahwa “Nabi Muhammad SAW. adalah Al-Insan Al-Kamil yang paling sempurna. Sedang yang maksud di sini ialah Al-Haqiqah Muhammadiyah.”12 Dan dengan Al-Haqiqah Muhammadiyah inilah orang bisa mencapai derajat Al-Insan Al-Kamil.13
Menurut Ibnu ‘Arabi, untuk mencapai tingkat Al-Insan Al-Kamil orang harus melalui jalan sebagai berikut:
a.       Fana’, yaitu sirna di dalam wujud Tuhan hingga seorang sufi menjadi satu denganNya.
b.      Baqa’, yaitu kelanjutan wujud bersama Tuhan sehingga dalm pandangannya, wujud Tuhan pada kesegalaan ini.14
Semua ini, menurutnya seperi disimpulkan oleh Ibrahim Hilal, merupakann upaya pencapaian ke tingkat Al-Insan Al-Kamil, dan ia hanya akan didapat melalui pengembangan daya intuisi atau zauq sufi.15



11Ahamad Mahmud Subhi, loc. Cit.
12’Abd Al-Qadir Mahmud, loc. Cit.
13Hamka, loc. Cit.
14Ibnu ‘Arabi, op. cit., hlm. 91.
15Hilal, op. cit., hlm. 178.
B.       AL-JILLI
Nama lengkapnya ‘Abd al-Karim bin Ibrahi al-Jilli. Dia ilahirkan di al-Jilli, sutu tempat di kawasan Bagdad pada tahun 767H./1365 M. dan meninggal pada tahun 805 H./1430 M. kitab al-jilli yang paling terkenal yang menggambarkan ajaran tasawufnya, khususnya tentang konsep al-Insan al-Kamil (manusia sempurna), berjudul Al-Insan Al-Kamil fin Ma’rifah al-wakhir wa al-Awail (dua juz untuk satu buku, yang memuat 63 bab: 41 bab untuk juz pertama dan 22 bab untuk juz kedua). Adapun hasil karya tulisnya hamper 30 kitab dan berbagai makalah dengan beragam topik kajian.
Di antara karya utamanya adalah: ‘al-Kahfi wa al-Raqim fi Syahri Bismillahirrohmaanirrohim, ‘al-Kamalaah al-Ilahiyyah’, ‘Qashidah an Naadirah al-‘Ainiyah’, ‘Qutub al-‘Ajaib’, dan karya yang monumental adalah ‘Insan Kamiil fi Ma’rifah al-Awahir wa al-Awail’.
Al-Jilli berpandangan bahwa “tasawuf mencakup rahasia-rahasia batin yang tidak mungkin yang ditakbirkan dengan kalimat-kalimat tegas dan lugas.” Kalimat-kalimat tasawuf sarat dengan makna tersirat. Ujaran dan ajaran sangat pekat dengan simbol, metafor dan isyarat serta rumus-rumus yang terkesan absurd dan menyimpang.
Untuk menggambarkan gagasan pokok al-Jilli tentang insan kamil, ada dua hal yang perlu dikemukakan terlebih dahulu. Pertama, insan kamil adalah suatu tema yang berhubungan dengan persepsi mengenai sesuatu yang dipandang memiliki sifat mutlak, Tuhan. Dia memiliki sifat sempurna, suatu sifat yang patut ditiru oleh manusia. Makin seseorang memiripkan diri kepada sifat sempurna dari Tuhan, makin sempurnalah dirinya. Kedua, keyakinan bahwa yang memiliki sifat mutlak dan sempurna itu mencakup asma’ sifat dan hakikatNya. Seterusnya, bagaimanakah hal-hal tersebut terwujud pada manusia.
Ataupun menurut al-Jilli ada dua pengertian insan kamil, yaitu: pertama, dalam pengertian konsep pengetahuan tentang manusia yang sempurna. Kedua, terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama dan sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi irinya.
Ibadah mayoritas muslim, menurut al-Jill, merupakan manifestasi imensi al-Rabb yang memandang ibadah sebagai kewajiban bagi al-marbub. Berbeda dengan al-‘Arifin yang beribadah dalam imensi al-Rahman, dan al-Muhaqqiqin dalam dimensi sama’u Allah, yang neribadah untuk mengagungkan Allah SWT. dalam asma’ dan sifatNya.
Al-‘Arifin, menurut al-Jilli, adalah fondasi wujud (asas al-wujud),  poros alam semesta (aflak al-‘awalim), dan bahkan tempat Allah dalam wujud (mahal Allah min al-wujud).16
Sumbangan istimewa al-Jilli dalam konsep kesatuan wujud, menurut Arberry, adalah kristalisasi konsep di atas di bawah tatanan universal ajaran tasawuf Ibnu ‘arabi ke dalm suatu metafisika yang jelas dan konsisten.17 Al-Insan Al-Kamil, dalam konsep al-Jilli, merupakan pencerminan zat Allah sekaligus sebagai poros maujudat, yang terhimpun sepenuhnya dalam diri Muhammad SAW. R.A. Nicholson dalam bukunya The Idea of Personality in Sufism mengatakan: “Dengan demikian, Muhammad tidak hanya sebagai sumber seluruh pengetahuan para nabi dan wali, tetapi dia sendiri adalah Roh Ilahi yang immanen di dalam alam.”18
Kendati al-Jilli membawakonsep kesatuan wujud dan tetap konsisten terhadap ajarannya, namun dalam syari’atnya ia tetap menjalankannya kewajiban (taklif) ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Bahkan, menurutnya, semakin tinggo derajat manus ia, semakin banyak ibadah yang mest dilakukannya. Pelanggaran terhadap larangan Allah, katanya, harus dihukum sesuai dengan ketentuan Allah SWT. dalam al-Qur’an.

C.      IBNU SAB’IN
Nama lengkapnya Abd al-Haq bin Ibrahim bin Muhammad bin Nashr bin Muhammad, adalah teosof kenamaan Andalus, yang telah dikenal di dunia Barat, Eropa, dengan jawaban-jawaban cerdas atas pertanyaan-pertanyaan seputar permasalahan filosofis yang telah diajukan oleh Frederic II, seorang Raja Romawi yang berkuasa pada masa itu. Ibnu Sab’in lahir tepatnya pada tahun 614 H. (1217 M./1218 M.), di kota Mursiah, Andalus. Lahirnya Ibnu Sab’in, pada paruh awal abad ke-7 tepat pada masa akhir dinasti Muwahhidin berkuasa di Andalus (Spanyol). Ibnu Sab’in wafat pada 20 Syawal 668 H., pada usia 55 tahun.
Selain doktrin al-wahdah al-wujud ari Ibnu ‘Arabi, ternyata masih ada tipe kesatuan wujud yang lebih ekstrim, yaitu ‘al-Wahda al-Mutlaqah-kesatuan mutlak’ yang merupakan hasil rekayasa  rasa dan rasio Ibnu Sab’in.

16Al-Jilli, op. cit., hlm. 77.
17Arberry, op. cit., hlm. 105.
18Nicholson, The Idea, op. cit., hlm. 60.
Secara esensial paham ini nampaknya sederhana karena katanya, wujud adalah satu yakni wujud Allah, sedangkan wujud-wujud lainnya itu adalah wujud Allah Yang Esa itu juga. Keberadaan segala sesuatu itu pada hakikatnya tidak berbeda dari wujud Yang Satu sehingga wujud hanya satu dan selalu satu, maka disebut kesatuan mutlak.
Hal ini berarti, bahwa yang mutlak dapat dilihat pada nisbi. Menurutnya, ajaran ini bersumber dari al-Qur’an yaitu Surat al-Hidad 3 dan a-Qashash: 88 yang ia tafsirkan melalui pendekatan teori emanasi Neo-Platonisme.



“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bahtin;[*]  dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid [57]: 3)





“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kedcuali Allah. Bagi-Nya lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Qashash [28]: 88)
Konsep ini mengungkapkan bahwa wujud itu hanya satu, tidak banyak, yakni Tuhan sebagai Realitas Tunggal dan sebagai wujud mutlak, sedangkan wujud-wujud lainnya itu hanyalah illuminasi (pancaran) atau pantulan dari wujud mutlak melalui tajalli secara berantai.



[*]Yang dimaksud dengan: Yang Awal ialah yang telah ada sebelum segala sesuatu yang ada, Yang Akhir ialah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah, Yang Zhahir ialah yang nyata adanya karena banyak bukti-buktinya, dan Yang Bathin ialah yang tak dapat digambarkan hikmat zat-Nya oleh akal.



D.      IBNU MASARRAH
Nama lengkap Ibn Masarrah adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Masarrah (269-319 H.). Ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filisof dari Andalusia. Ia memberikan pengaruh yang besar terhadap esetrik madzhab Al-Mariyah. Lebih jauh Ibnu Hazm mengatakan bahwa Ibnu Masarrah memiliki kecenderungan yang besar terhadap filsafat, sedangkan dalam kacamata Musthafa Abdul Raziq, Ibnu Masarrah termasuk aliran ittihadiyyah. Pada mulanya, Ibnu Masarrah merupakan penganut sejati aliran Mu’tazilah, lalu berpaling pada madzhab Neo Platonisme. Oleh karena itu, ia dituduh mencoba menghidupkan kembali filsafat yunani kuno.
Di antara ajaran-ajaran Ibnu Masarrah adalah sebagai berikut :
Ø  Jalan menuju keselamatan adalah mensucikan jiwa, zuhud, dan mahabbah yang merupakan asal dari semua kejadian.
Ø  Dengan penakwilan ala Philun atau aliran Isma’iliyyah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, Ibn Masarrah menolak adanya kebangkitan jasmani.
Ø  Siksa neraka bukanlah bentuk yang hakikat.



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari semua konsep-konsep yang telah dikemukakan oleh para sufi dalam makalah ini tentang Tasawuf Falsafi, banyak mempunyai karakteristik sendiri sehingga dapat dipukul rata bahwa semua konsep yang ditawarkan oleh para sufi falsafi ini adalah konsep wahdatul wujud. Meskipun penjabarannya mengalami perbedaan dan perkembangan yang berbeda anatar sufi yang satu dengan sufi yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar